Ada dua kali pelaksanaan Lebaran yang dikenang masyarakat Jawa pada umumnya, yaitu Idul Fitri dan Lebaran Ketupat. Idul Fitri dilaksanakan tepat pada tanggal 1 Syawal, sedangkan Lebaran ketupat adalah sepekan sesudahnya (8 Syawal) , hal ini masih kental dilakukan oleh masyarakat di wilayah tapal kuda.
Pada lebaran idul fitri dan lebaran ketupat, masyarakat muslim Jawa umumnya membuat ketupat. Ketupat adalah jenis makanan yang dibuat dari beras yang dimasukkan ke dalam anyaman daun kelapa (janur) yang dibuat berbentuk kantong yang kemudian dimasak dalam waktu lama. Setelah masak, ketupat tersebut diantarkan ke kerabat terdekat dan kepada mereka yang lebih tua, sebagai simbol kebersamaan dan lambang kasih sayang.
Menurut H.J. de Graaf dalam Malay Annal, ketupat merupakan simbol perayaan Hari Raya Islam pada masa pemerintahan Demak yang dipimpin Raden Patah awal abad ke-15. De Graaf menduga kulit ketupat yang terbuat dari janur berfungsi untuk menunjukkan identitas budaya pesisiran yang ditumbuhi banyak pohon kelapa.
Warna kuning pada janur dimaknai de Graff sebagai upaya masyarakat pesisir Jawa untuk membedakan warna hijau dari Timur Tengah dan merah dari Asia Timur.
Di NU Online dituliskan, dalam sejarahnya lebaran ketupat pertama kali diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga. Saat itu, beliau memperkenalkan dua istilah Bakda kepada masyarakat Jawa, Bakda Lebaran dan Bakda Kupat. Bakda Lebaran dipahami dengan prosesi pelaksanaan shalat Ied satu Syawal hingga tradisi saling kunjung dan memaafkan sesama muslim. Sedangkan Bakda Kupat dimulai seminggu sesudah Lebaran.
Versi lain menyebutkan, lebaran ketupat diangkat dari tradisi pemujaan Dewi Sri; dewi pertanian dan kesuburan, pelindung kelahiran dan kehidupan, kekayaan dan kemakmuran. Ia dewi tertinggi dan terpenting bagi masyarakat agraris. Dewi Sri dimuliakan sejak masa kerajaan kuno seperti Majapahit dan Pajajaran.
Sungkeman dan Halal Bihalal
Pada perayaan idul fitri dalam tradisi jawa, tradisi halal bihalal dalam keluarga besar biasa dikenal dengan istilah “sungkeman”. Tradisi ini pada umumnya dilakukan di kalangan kerabat dekat saja. Inti dari acara sungkeman adalah saling meminta maaf antar kerabat. Sungkeman tidak hanya dilakukan dengan berjabat tangan. Ada sejumlah prosedur tertentu yang perlu dilakukan pada acara sungkeman ini.
Sungkem dilakukan secara terurut dari yang dituakan. Misal dalam keluarga besar ada Kakek, Nenek, Budhe (kakak dari ibu atau bapak), Paklik (adik dari ibu atau bapak), Anak Budhe, Anak Paman.
Urutan sungkeman adalah, Budhe sungkem ke Kakek, lalu ke Nenek; Paman sungkem ke Kakek, lalu ke nenek, lalu ke Budhe. Anak Budhe sungkem ke Kakek, lalu ke nenek, lalu ke Budhe, lalu ke Paman dan hingga semua anggota keluarga besar sudah sungkeman.
Kemudian, barulah halal bihalal dilanjutkan dengan berkunjung ke tetangga. Setelah sungkeman selesai, semua keluarga kembali bergabung dan menikmati sajian lebaran yang telah dipersiapkan, biasanya ketupat.
Ketupat menjadi simbol “maaf” bagi masyarakat Jawa, yaitu ketika seseorang berkunjung ke rumah kerabatnya, mereka akan disuguhkan ketupat dan diminta untuk memakannya. Apabila ketupat tersebut dimakan, secara otomatis pintu maaf telah dibuka dan segala salah serta khilaf antar keduanya terhapus.