Politik & Pemerintahan

Pemilih Cerdas : Kenali Kecurangan Pilkada

Screenshot_2024-04-05-09-17-02-02_99c04817c0de5652397fc8b56c3b3817

Opini oleh : Atien A Mochtar

Atien A Mochtar

Eupuoria dalam menyambut perebutan kursi no 1 disejumlah daerah sudah tampak dipermukaan. Pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan penjabaran Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dari sentralistik menjadi desentralisasi. Salah satu dampak dari otonomi daerah adalah perubahan dalam tata cara pemilihan kepala daerah, dari tidak langsung menjadi pemilihan langsung.

6728ecd88ab74cb1b023609657811a20
IMG-20240425-WA0040

Pelaksanaan pesta demokrasi langsung ini kerap terjadi kecurangan-kecurangan hingga rekayasa dengan segala cara yang dilakukan oleh pihak tertentu, dengan tujuan untuk memenangkan pemilihan dan meraih kursi kekuasaan.

Potensi kecurangan pada Pilkada tentu ada. Baik menjelang pencoblosan, saat pencoblosan atau bahkan selama proses rekapitulasi. Biasanya, tindak pelanggaran kecurangan antara lain melibatkan Perangkat Pemerintahan Desa, Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan struktur penyelenggaran Pemilu ditingkat KPPS dan PPS yang dapat dikualifikasi terstruktur, sistematis dan massif.

Kegagalan dalam penyelenggaraan pemilu maupun pilkada sangat berpotensial menjadi pemicu instabilitas nasional. Berikut ini potensi kecurangan dalam proses penyelenggaraan pilkada maupun pemilu .

Pertama yakni intimidasi. Contohnya dengan membuat pemilih di Pilkada Serentak 2018 ini takut untuk memilih, tidak mau datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS).Termasuk abuse of power pejabat negara, aparatur sipil negara (ASN) atau penyelenggara pemilu. Penyalahgunaan kekuasaan ini terjadi dengan pemanfaatan pengaruh yang dapat memberikan keuntungan atau merugikan calon tertentu semisal melalui mobilisasi dukungan ASN, program pemerintah yang didomplengi oleh kandidat tertentu, pemanfaatan fasilitas negara, hingga penggunaan kewenangan secara ilegal demi memberi keuntungan atau merugikan kandidat tertentu (Pasal 70 ayat (3) UU 10 tahun 2016).

Hal ini karenanya menekankan netralitas dan imparsialitas daripada penyelenggara pemilu, baik KPUD maupun Panwaslu dalam menjalankan aturan main secara objektif dan tidak memihak. Terkait masalah ini, Komisi Aparatur Sipil Negara bersama Bawaslu/Panwaslu untuk bersinergi mengoptimalkan pengawasan dan memberikan sanksi terhadap ASN yang berpolitik praktis.

Kecurangan kedua yang harus diwaspadai dalam Pilkada Serentak 2018 , distruption. Dengan menimbulkan gangguan-gangguan sehingga menciptakan situasi tidak kondusif saat pemungutan suara Pilkada Serentak 2018.

iklan dalam

Ketiga, miss information, dengan menyebarkan informasi yang tidak benar kepada masyarakat. Kecurangan yang keempat, registration fraud. Dengan memanipulasi data sehingga pemilih di Pilkada Serentak 2018 tidak memiliki hak untuk memilih.

Jumlah Pemilih yang tercantum dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) sangat potensial digelembungkan (mark-up) oleh pihak-pihak tertentu dalam Pilkada.

Adanya identitas ganda terjadi karena kesalahan pada saat perekaman data perubahan identitas menjadi KTP elektronik (e-KTP).

Hal ini rentan dengan banyaknya ditemukan suara siluman yang bertujuan untuk menggelembungkan suara dari calon kandidat tertentu.

Kelima, vote buying, contohnya ‘serangan’ fajar. Dalam pengertian ini uang merupakan alat untuk memengaruhi seseorang untuk menentukan keputusan. Tentu saja dengan kondisi ini maka dapat dipastikan bahwa keputusan yang diambil tidak lagi berdasarkan baik tidaknya keputusan tersebut bagi orang lain tetapi keuntungan yang didapat dari keputusan tersebut.

Istilah politik uang atau money politic menunjuk pada penggunaan uang untuk mempengaruhi keputusan tertentu entah dalam Pemilu ataupun dalam hal lain yang berhubungan dengan keputusan-keputusan penting.

Dan kecurangan terakhir yang perlu diwaspadai dalam Pilkada Serentak 2018 adalah ujaran kebencian,black campaign dan hoax. Pilkada akan diwarnai dengan kampanye terselubung dan informasi palsu, sesat dan negatif yang memanfaatkan jaringan online seperti blog, web, maupun medsos yang memiliki jangkauan luas, intens, dan anonimitas. Hal ini digunakan untuk memanipulasi kesadaran massa sehingga memberi respon afeksi tertentu pada kandidat.

Respon afeksi ini dapat berupa perasaan positif dukungan maupun kebencian yang pada akhirnya berpengaruh terhadap orientasi pilihan. Kampanye hitam dan hoax dapat menghasut, menyebarkan kebencian dan memecah belah masyarakat dan potensial menimbulkan konflik horizontal (lihat Pasal 69 (b), (c) dan pasal 187 (ayat 2), UU 10/2016).

Terkait hal ini, sebagai pemilih cerdas perlu bekerjasama meliterasi agar tidak termakan hoax.

Sebagaimana data tapalkudamedia.com , sebanyak 171 daerah akan berpartisipasi dalam Pilkada Serentak 2018. Jumlah daerah yang akan ikut Pilkada Serentak mendatang akan lebih banyak dibandingkan Pilkada Serentak 2017, yang hanya diikuti 101 daerah.

Ke-171 daerah tersebut terdiri dari 17 provinsi, 39 kota dan 115 kabupaten di Indonesia.*) dir-tapalkudamedia.com

IMG-20240429-WA0000
67f1cfdb785348099fb80d095209944c

Related posts

Ketua PBNU Tegas Akan Melawan Politik Identitas

Bupati Bondowoso Beri Pembekalan Pada 713 JCH Tahun 2023

Redaksi Tapalkuda

Batasan Pembelian Premium Disepakati

error: Content is protected !! silahkan di menghubungi admin jika ingin copy conten ini ... terima kasih