FeaturedLife Style

Hukum Puasa Ramadhan Bagi Wanita Hamil dan Menyusui

Screenshot_2024-04-05-09-17-02-02_99c04817c0de5652397fc8b56c3b3817

 

Puasa di bulan Ramadhan adalah salah satu rukun Islam yang wajib di jalankan oleh setiap umat Muslim pada bulan ramadhan. Para ulama bersepakat bahwa bagi orang tua yang sudah tidak bisa menjalankan puasa karena udzur, dan tidak mungkin bisa mengqadha pada hari lain, maka ia tidak berkewajiban untuk bermengqadha puasanya dan hanya diharuskan membayar fidyah. Namun, bagaimana hukumnya puasa Ramadhan bagi wanita hamil dan menyusui, dimana ia masih memungkinkan untuk mengqadhanya suatu hari setelah tidak hamil dan menyusui lagi?

 Pendapat Ulama.

  1. Wanita Hamil dan Menyusui yang Khawatir Keadaan Dirinya Saja Bila Berpuasa.
    Dalam keadaan ini maka wajib untuk mengqadha (tanpa fidyah) di hari yang lain ketika telah sanggup berpuasa.
    Keadaan ini disamakan dengan orang yang sedang sakit dan mengkhawatirkan keadaan dirinya. Sebagaimana dalam ayat,
    “Maka jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”
     (Qs. Al Baqarah (2): 184)
    Ibnu Qudamah mengatakan, “Kami tidak mengetahui ada perselisihan di antara ahli ilmu dalam masalah ini, karena keduanya seperti orang sakit yang takut akan kesehatan dirinya.” (al-Mughni: 4/394)
  2. Wanita Hamil dan Menyusui yang Khawatir Keadaan Dirinya dan Buah Hati Bila Berpuasa.
    Pada situasi ini, wanita hamil dan menyusyi wajib mengqadha (saja) sebanyak hari-hari puasa yang ditinggalkan ketika sang ibu telah sanggup melaksanakannya.
    Imam Nawawi mengatakan:
    Para sahabat kami (ulama Syafi’iyah) mengatakan, ‘Orang yang hamil dan menyusui, apabila keduanya khawatir dengan puasanya dapat membahayakan dirinya, maka dia berbuka dan mengqadha. Tidak ada fidyah karena dia seperti orang yang sakit dan semua ini tidak ada perselisihan (di antara Syafi’iyyah). Apabila orang yang hamil dan menyusui khawatir dengan puasanya akan membahayakan dirinya dan anaknya, maka sedemikian pula (hendaklah) dia berbuka dan mengqadha, tanpa ada perselisihan (di antara Syafi’iyyah).’” (al-Majmu’: 6/177)
  3. Wanita Hamil dan Menyusui yang Mengkhawatirkan Keadaan Buah Hati saja.
    Jadi sebenarnya ia mampu untuk berpuasa, namun karena menurut pengalaman atau menurut keterangan dokter akan berbahaya bagi sang bayi jika ia berpuasa, sehingga ia tidak berpuasa. Dalam hal ini ulama berbeda pendapat tentang hukumnya:

    6728ecd88ab74cb1b023609657811a20
    IMG-20240425-WA0040
    • Syaikh Bin Baz dan Syaikh As-Sa’di berpendapat bahwa wanita hamil atau menyusui ini disamakan statusnya sebagaimana orang sakit, sehingga ia hanya wajib mengqadha puasanya saja. Dalil yang digunakan adalah Qs. Al Baqarah (2):184.
    • Ibnu Abbas dan Ibnu ‘Umar ra. serta Syaikh Salim dan Syaikh Ali Hasan berpendapat bahwa wanita hamil atau menyusui yang khawatir akan bayinya, wajib membayar fidyah saja. Dalil yang digunakan adalah sama sebagaimana dalil para ulama yang mewajibkan qadha dan fidyah, yaitu perkataan, “Wanita hamil dan menyusui, jika takut terhadap anak-anaknya, maka mereka berbuka dan memberi makan seorang miskin.” (HR. Abu Dawud)
      Sementara ayat Al-Qur’an yang dijadikan dalil bahwa wanita hamil dan menyusui hanya wajib membayar fidyah jika khawatir akan anaknya adalah:
      “Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar diyah (yaitu) membayar makan satu orang miskin.” (Qs. Al-Baqarah (2): 184). Hal ini disebabkan wanita hamil dan menyusui yang mengkhawatirkan anaknya dianggap sebagai orang yang tercakup dalam ayat ini.
    • Ibnu Abbas ra. mengatakan:
      Wanita hamil dan menyusui, jika takut terhadap anak-anaknya, maka mereka berbuka dan memberi makan seorang miskin.” (HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh Syaikh Al Bani dalam Irwa’ul Ghalil).
      Begitu pula jawaban Ibnu ‘Umar ra.ketika ditanya tentang wanita hamil yang khawatir terhadap anaknya, ia menjawab, “Hendaklah berbuka dan memberi makan seorang miskin setiap hari yang ditinggalkan.”

  Analisa

Dari tiga keadaan wanita hamil dan menyusui dua keadaan yang pertama, mayoritas ulama berpendapat sama. Namun pada kondisi ketiga, ulama berbeda pendapat tentang hukumnya.

Hukum dasar bagi orang yang berhalangan untuk berpuasa adalah Surah Al Baqarah (2) ayat 184: “Maka jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”

Dalil sang ibu wajib mengqadha adalah sebagaimana dalil pada kondisi pertama dan kedua, yaitu wajibnya bagi orang yang tidak berpuasa untuk mengqadha di hari lain ketika telah memiliki kemampuan. Para ulama berpendapat tetap wajibnya mengqadha puasa ini karena tidak ada dalam syari’at Islam yang menggugurkan qadha bagi orang yang mampu mengerjakannya.

iklan dalam

Sedangkan dalil pembayaran fidyah adalah para ibu pada kondisi ketiga ini termasuk dalam keumuman ayat berikut,

“…Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin…” (Qs. Al-Baqarah [2]:184)

Adapun perkataan Ibnu Abbas dan Ibnu ‘Umar radhiallahu’anhuma yang hanya menyatakan untuk berbuka tanpa menyebutkan wajib mengqadha karena hal tersebut (mengqadha) sudah lazim atau maklum dilakukan ketika seseorang membatalkan puasa Ramadhannya. Hal ini sama ketika seseorang mengatakan pada Anda bahwa ia sedang sakit dan kemudian Anda menyarankan: “kalau sakit sebaiknya tidak usah berpuasa”. Anda tidak perlu mengatakan bahwa ia wajib mengqadha puasanya karena semua orang paham dan maklum dengan sendirinya bahwa orang yang tidak berpuasa karena suatu hal harus mengqadha puasanya ketika nanti sudah memiliki kemampuan.

Sehingga yang tidak berkewajiban untuk mengqadha puasa dan hanya berkewajiban membayar fidyah hanyalah orang yang sudah tua atau udzur yang tidak mungkin akan bisa mengqadha di hari kemudian karena tentu di hari kemudian orang yang sudah udzur akan semakin udzur lagi.

Ajaran Islam memang mudah. Oleh karenanya ada rukhsoh di setiap hukum dasarnya (‘azimah) bagi orang yang tidak mampu untuk melakukan suatu ibadah.

  • Azimah: Shalat dzuhur dan ashar harus dilakukan pada waktunya dan masing-masing harus dilakukan dalam 4 rakaat;
  • Rukhsoh: Jika kita dalam perjalanan, maka kita boleh melakukan dua shalat tersebut dalam satu waktu (jamak) bahkan boleh di Qashar.
  • Azimah: Puasa Ramadhan wajib dilakukan oleh setiap orang Islam yang sudah baligh dan memiliki kemampuan.
  • Rukhsoh: Orang yang sakit boleh tidak berpuasa pada bulan ramadhan namun harus menggantinya pada hari lain ketika sudah memiliki kemampuan.

Jadi yang perlu kita garis bawahi adalah bahwa lembaga rukhsoh itu bukan untuk meniadakan suatu ibadah, apalagi bagi orang yang memiliki kemampuan dan kesempatan. Wallahu a’lam..
Sampaikan artikel ini kepada teman Anda dengan memberikan like, twit atau komentar di bawah ini. Terima kasih.
__________________________
Referensi:

  • Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid.
  • Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah.
67f1cfdb785348099fb80d095209944c

Related posts

11 Orang Penyelenggara Pemilu 2024 di Bondowoso Double Job ini Kata PJ Sekda

Redaksi Tapalkuda

Akhir Pekan ini Banyuwangi Helat 3 Event Bergengsi

Babinsa Kawal Pertemuan Penguatan P4K dengan Puskesmas

error: Content is protected !! silahkan di menghubungi admin jika ingin copy conten ini ... terima kasih