JAKARTA – Penasihat Hukum Setya Novanto (Setnov), Maqdir Ismail, berharap Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta bisa mempertimbangkan nota pembelaan atau pleidoi yang diajukan oleh pihaknya dalam menjatuhkan vonis.
Hari ini, mantan Ketua DPR RI itu akan menghadapi sidang putusan atau vonis dalam perkara korupsi pengadaan e-KTP yang merugikan keuangan negara sebesar Rp2,3 triliun tersebut.
“Kami harapkan Hakim memutus perkara dengan mempertimbangkan pembelaan, karena menurut hemat kami dakwaan tentang intervensi pak Novanto tidak terbukti,” ujar Maqdir saat dikonfirmasi Okezone, Jakarta, Selasa (24/4/2018).
Dalam kasus ini, Setnov disebut Jaksa Penuntut KPK, terbukti menerima uang hasil korupsi e-KTP senilai 7,4 juta dollar AS. Setnov dinilai telah melakukan praktik korupsi e-KTP dengan mengintervensi Pejabat Kementerian Dalam Negeri dan menyalahgunakan wewenangannya ketika itu di DPR RI untuk menggiring anggaran proyek senilai Rp 5,9 triliun itu.
Karena itu, Jaksa Penuntut KPK menjatuhkan tuntutan kepada Setnov dengan pidana penjara selama 16 tahun. Selain dituntut penjara, Setnov juga didenda sebesar Rp1 miliar subsidair selama enam bulan kurungan.
Selain itu, Setnov diminta untuk membayar uang pengganti USD 7,4 juta. Lalu, permohonan Justice Collaborator (JC) yang diajukan oleh Setnov ditolak Jaksa. Bahkan, Jaksa Penuntut juga meminta Majelis Hakim untuk mencabut hak politik dari Setnov selama lima tahun setelah menjalani pidana pokok nantinya.
Meskipun mengajukan justice collaborator (JC), Novanto bersikeras mengaku tidak pernah mengintervensi proyek e-KTP, dan tak pernah menerima hasil korupsi e-KTP. Hal itu dituangkan dalam nota pembelaan atau pledoi-nya.
Kendati Begitu, Maqdir menegaskan bahwa pihaknya akan siap menghadapi apapun keputusan dari Majelis Hakim. Namun, Maqdir masih belum memastikan apakah akan mengajukan banding atas keputusan Majelis Hakim nantinya
“Mudah-mudahan begitu (siap menerima segala putusan Majelis Hakim),” tutur Maqdir.
Dalam kasus ini, Setnov didakwa secara bersama-sama melakukan perbuatan tindak pidana korupsi yang mengakibatkan kerugian negara sekira Rp2,3 triliun dalam proyek pengadaan e-KTP, tahun anggaran 2011-2013.
Setnov selaku mantan Ketua fraksi Golkar diduga mempunyai pengaruh penting untuk meloloskan anggaran proyek e-KTP yang sedang dibahas dan digodok di Komisi II DPR RI pada tahun anggaran 2011-2012.
Atas perbuatannya, Setnov didakwa melanggar Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.(aky)