Surabaya , tapalkudamedia.com
Himpunan Masyarakat Petambak Garam (HMPG) Jawa Timur akan mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung terhadap Peraturan Pemerintah Nomer 9 Tahun 2018 tentang tata cara pengendalian impor komoditas perikanan dan pergaraman. Menurut HMPG, PP itu tumpang tindih dengan Undang-Undang Nomor 7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.
Ketua HMPG Jatim Moch Hasan mengatakan, kuota bahan baku garam impor tahun 2018 untuk industri sangat berlebihan yakni 3,7 juta ton. Padahal tahun sebelumnya kebutuhan garam untuk industri hanya 2,1 juta ton sehingga diduga akan merembes ke pasaran.
“Ini ada indikasi rembesan ke pasar. Karena yang dimpor adalah bahan baku yang bisa digunakan untuk kepentingan industri dan konsumsi,” kata Hasan di sela-sela semiloka dan rapat koordinasi dengan tema ’Impor garam, kebutuhan vs keinginan dalam sebuah kepentingan’, di Surabaya, Rabu (28/3).
Maka agar tidak terjadi rembesan garam impor, pemerintah harus mendata secara teliti seberapa kebutuhan garam untuk industri sehingga dapat melakukan pemenuhan di dalam negeri.
Hasan menilai kuota impor 3,7 juta ton garam itu tidak hanya dikhawatirkan bocor di masyarakat saja, tetapi dapat berdampak pada produktivitas dalam negeri. Salah satunya adalah stabilisasi harga dan penyerapan
“Inilah yang dikhawatirkan petambak garam di kala saat ini harga garam masih bagus-bagusnya,” ungkapnya.
Ia meminta pemerintah segera membuat kebijakan untuk menentukan Harga Pokok Pemerintah (HPP) garam. Di mana harga kelayakan yang terendah Rp 1.500 per kilonya, sementara harga tertingginya menyesuaikan kualitas garamnya.
“Harga pasar sekarang produsen ada yang mematok Rp 8.000-10.000. Sementara harga garam rakyat sekarang sekitar Rp 2.300-2.500 per kilonya,” paparnya.
Terkait regulasi ada tumpah tindih antara PP 9/2018 dengan UU 7/2016, HMPG menilai PP tersebut tergesa-gesa ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo. Mengingat PP hanya mengatur subtansi kepentingan para kelompok, mengatur subtansi peralihan kewenangan dari Kemnterian Kelautan dan Perikanan ke Kementerian Perindustrian tentang rekomendasi impor.
“Itu tidak dibenarkan walaupun ada Undang-Undang Perindustrian. Kalau diadu dengan UU 7/2016, secara khusus mengatur pergaraman nasional yang juga mengadopsi Undang-Undang Perindustrian terkait stok,” terangnya.(*)