MALANGĀ – Umat Hindu, Buddha dan Islam di kaki Gunung Bromo, Jatim, menempatkan agama sebagai keyakinan individu, tetapi mereka aktif bersama dalam melestarikan adat budayanya.
Dukun Sepuh suku Tengger Desa Ngadas, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang, Sutomo menuntun seekor kerbau, diiringi bocah desa setempat, Rabu (30/05).
Usai kerbau disembelih, daging diolah untuk sesaji di rumah Kepala Desa Mujianto. Lalu giliran ibu-ibu yang bekerja mengolah daging kerbau dan menyiapkan aneka sesaji yang akan persembahkan dalam upacara Unan-unan.
Terdiri dari 100 tusuk sate daging kerbau, 100 jajanan pasar dan 100 tumpeng, sementara kepala, kulit dan kaki dibiarkan utuh. Semua sesaji dihias dengan bunga di atas ancak atau keranda bambu.
“Umat Islam ya tetap puasa saat ini,” kata Dukun Utomo kepada wartawan Eko Widianto untuk BBC Indonesia, Rabu 30 Mei 2017.
Suku Tengger menetap dan tinggal secara turun temurun di sekitar kaki Gunung Bromo yang wilayahnya berada di Kabupaten Malang, Kabupaten Lumajang, Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Probolinggo.
Beranjak siang, sejumlah umat Hindu mengenakan pakaian rapi. Kaum pria mengenakan kain, berkemeja dan udeng. Sedangkan perempuan mengenakan kain jarik, dan berkebaya. Sembari membawa membawa sesaji aneka buah di dalam nampam. Mereka melintas di jalan utama desa setempat menuju Pura Sapto Argo.
Jumlah umat Hindu di Ngadas sebanyak 144 jiwa atau sekitar 10 persen dari populasi penduduk sebanyak 2013. Sedangkan 50 persen umat Buddha dan 40 persen beragama Islam.
‘Toleransi sudah mendarah daging’
Umat hindu duduk bersimpuh di depan pura, mereka khusuk beribadah hari raya galungan. Ritual persembahyangan dipimpin pemuka agama Hindu setempat.
Sementara tidak jauh dari Pura, umat Buddha Jawa Sanyata tengah menyiapkan sembahyang Reboan setiap hari Rabu di Vihara setempat. Sedangkan umat Islam tengah beribadah puasa dan salat zuhur di musala dan masjid setempat.
“Toleransi sudah mendarah daging, alami. Mengikuti pesan leluhur, orang tua secara turun temurun. Pesan orang tua lebih tinggi nilainya dibandingkan guru spiritual,” kata Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Ngasa, Timbul Oerip. Pesan leluhur melekat, dijaga dan diamalkan sampai sekarang.
“Hari ini istimewa,” kata Timbul, lantaran ketiga umat Hindu merayakan Galungan, Buddha merayakan Waisak dan umat Islam tengah beribadah puasa. “Galungan, Waisak dan puasa berurutan. Dilanjutkan semua umat mengikuti upacara Unan-unan untuk memuja Tuhan meminta keselamatan.”
Ketiga umat, lanjutnya, juga bergotong-royong membantu proses pembangunan masing-masing tempat ibadah. Vihara dibangun 1985, disusul Pura pada 1986 dan masjid dibangun 1987. Semua umat berbaur, bersama-sama membantu pembangunan sarana ibadah tersebut. Mereka mengikuti pesan orang tua untuk menjaga hubungan lintas iman dan hidup rukun.
Sedangkan upacara adat sekaligus menjadi perekat ketiga agama. Upacara tersebut meliputi Karo, Unan-unan, Barikan, dan Yadnya Kasada.
Pemuka agama Buddha di Ngadas, Ponadi menjelaskan kerukunan umat beragama tak terlepas dari peran kepala desa, Mujianto, yang juga berperan sebagai Kepala Adat.
Agama ditempatkan sebagai keyakinan setiap individu, namun seluruh masyarakat suku Tengger harus terlibat dan aktif dalam melestarikan adat budaya. Terutama upacara adat yang rutin diselenggarakan suku Tengger di lereng Gunung Bromo.
“Masing-masing agama punya tuntutan sendiri. Kenapa bertengkar? Kenapa gegeran?” kata Ponadi. Setiap umat, katanya, bebas beribadah sesuai keyakinan dan umat lain ikut menghormatinya. Sedangkan saat upacara adat, semua tokoh agama berkumpul.
“Di Ngadas semua adalah keluarga, semua saudara. Tetap tentram dan rukun. Tak ada masalah agama,” ujarnya.
Kepala Desa Mujianto menjelaskan jika secara legalitas, kata Timbul, suku Tengger di Ngadas memeluk agama Hindu, Buddha dan Islam sejak 1970-an. Setelah pemerintah menetapkan lima agama yang diakui pemerintah. Sementara keyakinan masyarakat setempat sebagai agama lokal tak diakui.
“Ada yang memeluk Buddha, Hindu dan Islam,” ujarnya.
Namun, selama ini tetap berdampingan dan hidup rukun. Tak pernah ada konflik agama. Lantaran orang tua selalu berpetuah dan ditanamkan sejak dini di keluarga untuk menjaga kerukunan dan keharmonisan. Ia tinggal bersama serumah dengan Ibunya yang memeluk Buddha dan mertuanya yang beragama Hindu.
“Berurutan Ibunya melaksanakan Waisak, mertuanya beribadah galungan dengan menyiapkan sesaji. Sementara saya, anak dan istri tetap melaksanakan puasa,” ujarnya. Selama ini, katanya, tetap saling menghormati ibadah dan tak mempermasalahkan keyakinan masing-masing.
Ā Berbaur menggelar upacara Unan-unan
Malam hari usai umat Islam menjalankan salat tarawih, seluruh tokoh adat, tokoh agama dan tokoh masyarakat berkumpul di rumah Mujianto.
Mereka duduk meriung di depan sebuah meja berisi aneka makanan dan kudapan. Ini adalah upacara mepek, artinya melengkapi aneka kebutuhan upacara Unan-unan. Dukun muda Senetran memimpin doa, dia merapal mantra berbahasa Tengger.
“Berdoa berharap agar diberi keselamatan sampai selesai hajatan,” kata Senetran.
Usai mepek, mereka makan bersama aneka makanan yang dihidangkan. Sementara istri mereka tengah berkutat di dapur memasak daging kerbau, makanan dan kudapan untuk upacara Unan-unan. Termasuk menyiapkan aneka sesaji untuk upacara.
Kerbau sebagai kurban, katanya, karena orang Tengger mempercayai kerbau merupakan hewan yang pertama muncul di Bumi. Masyarakat Tengger bergotong-royong menyiapkan upacara sakral ini. Mereka mengesampingkan perbedaan agama, adat menjadi pemersatu dan menjaga kerukunan antaragama Semua antusias, katanya, termasuk umat Islam yang tengah berpuasa.
“Adat terjaga karena kekuatan masyarakat yang mencintai adat. Masih berpegang teguh adat istiadat. Tak peduli siapapun kepala desa dan dukunnya.
Unan-unan dilangsungkan untuk menetralisir energi negatif di bumi. Lantaran menurut penanggalan Tengger, setiap dua bulan ada satu hari yang hilang. Sehingga selama lima tahun genap 30 hari atau sebulan yang hilang. Unan-unan berasal dari bahasa Tengger, yaitu nguna, yang artinya menarik atau melengkapi bulan yang hilang agar kembali utuh.
Unan-unan digelar agar desa dan masyarakat terjaga keselamatan, dan dijauhkan dari malapetaka. Jika tak dilengkapi akan menimbulkan energi negatif. Unan-unan merupakan adat yang menjadi kepercayaan. Sehingga tak ada wabah penyakit, kriminalitas maupun kejahatan yang lain.
Upacara Unan-unan dilangsungkan Kamis 31 Mei 2018. Ribuan masyarakat berkumpul di depan rumah Kepala Desa Ngadas. Sebuah ancak berisi kepala kerbau dilengkapi dengan sate, jajanan pasar dan tumpeng ditandu. Sebagian masyarakat mengenakan pakaian adat, bercelana hitam, kemeja hitam dan udeng penutup kepala khas Tengger.
Sesaji dibawa dengan arak-arakan masyarakat setempat. Para pemangku adat, kepala desa dan tokoh agama berada di barisan terdepan. Setiap langkah arak-arakan pembawa sesaji diiringi alunan musik tradisional tengger. Perpaduan bunyi seruling, gong dan kendang, sementara sesaji diarak menuju Pura Pamujan.
Semua sesaji di letakkan di sebuah altar, sementara pemangku adat, tokoh agama dan tokoh masyarakat duduk meriung bersimpuh beralas karpet. Dukun Sepuh, Sutomo merapal mantra. Khidmat semua mendengarkan mantra atau doa yang dipanjatkan Sutomo.
Sedangkan masyarakat berdiri, berdesak-desakan melihat dari dekat prosesi ritual. Usai Dukun Sepuh Utomo merapal mantra, seluruh warga suku Tengger di Ngadas berebut sesaji. Mereka berharap sesaji tersebut membawa keberkahan dan keselamatan.
Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Malang, Made Arya menilai rirual adat Tengger selalu menarik wisatawan. Berpotensi menjadi tujuan wisata terutama wisatawan mancanegara sehingga harus dijaga dan dilestarikan.
“Upacara adat ini diwariskan turun temurun harus dilestarikan,” ujarnya.
Selain itu, juga bisa menjadi wisata religi dan pengunjung bisa belajar kisah toleransi di Desa Ngadas. Meski berbeda agama tetapi tetap rukun dan tak pernah ada konflik antaragama.(wal)