Lensa – tapalkudamedia.com
Raden Bagus Kasim al Wirodipuro al Ki Pate Alos lahir pada minggu ketiga bulan Rabiul Awal 1162 H / 1741 M di Tanjung Jambul Pamekasan Madura Adalah putra Raden Abdurahman al Wirobroto.
Orang yang pertamakali membabad tanah besuki. Beliau adalah cucu Raden Abdullah Surowikromo yang masih keluarga KRATON MATARAM (Susuhunan Pakubuwono II) Eyang Lelono dan akhirnya menetap di Tanjung Jambul Pamekasan Madura.
Asal mula tanah besuki, berawal dari hijrahnya Raden Abdurahman al Wirobroto pada 10 Asyuro 1164 H / 1743 M ke desa Demung, dikarenakan daerah Tanjung Jambul Pamekasan terjadi NEMOR KARA ( kemarau panjang ) yang menyengsarakan rakyat. Waktu itu Raden Wirobroto memutuskan untuk hijrah ke tanah Jawa mencari tanah baru untuk bercocok tanam, akhirnya Beliau tiba di desa Demung yang dikenal dengan nama NAMBEKOR ( berasal dari kata NAMBEG / berlabuh ) dan membuka hutan disana, sedangkan untuk tempat berteduh dan istirahat Kiai Wirobroto membuat rumah dari ATAQ ( daun kelapa yang dirajut untuk dijadikan atap rumah tepatnya di Bujug Se Pacar ) pada waktu itu oleh Tumenggung Sentong dijadikan Kademangan.
Pucuk dicita ulampun tiba, berkat kerja keras tanpa mengenal putus asa hasil panen Raden Wirobroto melimpah ruah. Dengan perasaan senang Raden Wirobroto membawa hasil panennya ke Tanjung Jambul Pamekasan Madura.
Berita tentang hal tersebut didengar oleh Tumenggung Sentong ( desa Demung adalah bagian dari kekuasaan Tumegung Sentong ) dan sang Tumenggung memanggil Raden Wirobroto.
Namun Raden Wirobroto tidak mengindahkan perintah tersebut. Hingga terjadilah perseteruan diantaranya keduanya yang kemudian terjadi peperangan. Tercatat Tumenggung Sentong 3 kali menyerang Demung akan tetapi gagal dan akhirnya Tumenggung Sentong takluk pada Raden Bagus Kasim.
Berita tentang orang-orang Madura yang NAMBEG (hijrah/datang untuk merubah nasib/mencari pekerjaan) didesa Demung didengar pula olehTumenggung Banger dan beliau memanggil Raden Wirobroto dengan mengutus Wongso Mitro ke desa Demung dengan perantaraan Wongso Mitro, Raden Wirobroto berhasil diajak menghadap ke Tumenggung Banger. Sesampainya disana Raden Wirobroto disambut dengan baik dan dianugerahi hadiah oleh sang Tumenggung. Dan Raden Wirobroto pun pamit untuk kembali ke Demung.
Singkat cerita Raden Wirobroto sudah tua dan digantikan oleh putranya Raden Bagus Kasim (19 tahun) yang lahir di Desa Tanjung Umbul Pamekasan pada tahun 1734 M dan pada 12 Rabiul Awal 1181 H/1760 M diberi gelar WIRODIPURO ( WIRO : Pahlawan, DIPURO : Daerah ) oleh Tumenggung Joyo Lelono.
Sewaktu beliau menggantikan ayahnya, Demung semakin ramai dan akhirnya diganti nama menjadi Besuki oleh Tumenggung Banger
Tercatat dalam sejarah kepemimpinan Beliau beberapa kejadian penting antara lain :
1. Beliau diminta bantuan oleh Kompeni Belanda menyerang Sentong dan Sentongpun berhasil dikalahkan.
2.Beliau juga diminta bantuan oleh Belanda bersama – sama Tumenggung Banger dan Tumenggung Pasuruan menyerang Lumajang dan usaha tersebut berhasil.
3.Beliau bersama – sama para pemimpin, Tumenggung daerah Pesisir Timur Jawa ( Semarang Timur ) beserta bala tentara dari Sumenep dan Pamekasan berhasil menaklukkan Blambangan dan Nusa Barong, Dan beberapa kejadian penting lainnya.
Raden Bagus Kasim wafat dan dimakamkan di Besuki pada minggu pertama bulan Rajabiah 1221 H/1800 M dan digantikan oleh putranya yang bernama Raden Bagus Syahirudin juga bergelar WIRODIPURO 2 juga wafat pada minggu pertama bulan Rajabiah 1271 H/1850 M dan dimakamkan di Besuki, tepatnya di Dusun Kauman Barat Besuki Situbondo Jatim.
Sampai dengan sekarang wafatnya beliau diperingati tiap tahun oleh masyarakat Besuki yang dipusatkan di Pasarean Asta Pate Alos.
Secara administratif, Besuki masuk wilayah kecamatan di Kabupaten Situbondo, namun budaya dan dialek bahasa Madura masyarakatnya justru sama dengan orang di Kabupaten Bondowoso.
Masyarakat Besuki dan Bondowoso memiliki budaya dan dialek yang sama dengan masyarakat di Pamekasan, Madura, sedangkan masyarakat di wilayah Panarukan, Kabupaten Situbondo ke timur memiliki kesamaan budaya dengan Sumenep.
Kesamaan budaya itu, menurut tokoh masyarakat Besuki, karena kedekatan Ke Pate Alos, demang pertama di Besuki dengan pembabat Alas di Bondowoso, yakni Ki Bagus Asra atau dikenal Ki Ronggo.
Ia menjelaskan, pada perkembangan pemerintahan di Besuki yang dipegang oleh Raden Sahirudin Wiroastro alias Wirodipuro II tersingkirkan setelah Belanda menerapkan politik adu domba.
Saat itu Belanda mendirikan pemerintahan di Panarukan yang pimpinannya masih ada hubungan keluarga dengan Raden Sahirudin. Akhirnya keluarga dan keturunan Sahirudin Wiroastro lari ke Bondowoso.
Keluarga itu, mendapatkan tempat terhormat dari keluarga Ki Bagus Asra (Ki Ronggo) yang juga berasal dari Madura. Ki Ronggo memiliki ikatan yang kuat dengan Ke Pate Alos karena pernah berguru kepadanya.
Bahkan ketika Ki Ronggo membabat alas di Bondowoso juga atas perintah Ke Pate Alos.
Ketika di Bondowoso dibentuk pemerintah, maka bupati pertamanya adalah Raden Abdurahman Wirodipuro yang merupakan cicit dari Ke Pate Alos. Hal itu dilakukan sebagai bentuk balas budi dan penghormatan Ki Ronggo kepada gurunya, Ke Pate Alos.
Raden Abdurahman Wirodipuro itu dilantik menjadi Bupati Bondowoso tahun 1850 M berdasarkan besluit Nomor 3 tertanggal 17 Oktober 1850 yang dikeluarkan Belanda. Beliau memerintah hingga tahun 1879 dan kemudian digantikan oleh menantunya, Raden Aryo Tumenggung Wondokusumo.
Tidak hanya ikatan antar keturunan guru dengan muridnya, pada perkembangan berikutnya, tidak sedikit masyarakat Besuki yang lebih memilih Bondowoso untuk memenuhi kebutuhannya, termasuk ketika keluarganya sakit. Mereka banyak yang memilih berobat ke Bondowoso, meskipun jarak Besuki ke Kota Situbondo dengan jarak Besuki ke Kota Bondowoso sama-sama sekitar 35 Km.
Mantan Kepala Seksi Kebudayaan pada Dinas P dan K Kabupaten Bondowoso, Hapi Tedjo Pramono mengakui bahwa masyarakat Besuki memiliki akar sejarah yang sama dengan Bondowoso.
Kota Besuki, memiliki letak yang sangat strategis karena berada di perlintasan utama kota besar di Jawa, seperti Jakarta, Bandung, Semarang dan Surabaya menuju – Bali lewat jalur darat.
Kota kecamatan yang kini menjadi bagian dari Kebupaten Situbondo, Jawa Timur itu sebetulnya memiliki sejarah panjang sebagai salah kota penting di Nusantara ini.
Namun, nasib kota itu seperti mengulang kisah masa lalu yang pernah digadaikan oleh Belanda kepada seorang saudagar keturunan Tiong Hoa di Surabaya. Kota itu kini seolah tetap tergadaikan meskipun masyarakatnya sebetulnya tidak menginginkan hal itu.
Misalnya, Besuki hanya dijadikan nama untuk polisi wilayah (Polwil) yang markasnya ada di Kabupaten Bondowoso atau badan koordinator wilayah (Bakorwil) di bawah Pemprov Jatim.
Kebesaran nama Besuki itu hanya digunakan sebagai penanda, sementara sang pemilik sepertinya tidak memperoleh “imbalan” apa-apa, misalnya sekedar melestarikan warisan kebesaran sejarahnya.
Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Pariwisata Kabupaten Situbondo, Agus Cahyono mengakui bahwa dari sisi sejarah, Besuki merupakan aset nasional.
“Besuki itu dulunya kota yang cukup besar, namun kemudian statusnya ‘melorot’ (turun) terus hingga kini menjadi kecamatan. Karena itu, sampai sekarang di kepolisian masih menggunakan nama Polwil Besuki, meskipun markasnya di Bondowoso,” ujarnya.
Ia mengemukakan, Besuki pernah menjadi keresidenan dan pada saat lembaga itu diubah menjadi nama pembantu gubernur, kantornya tidak lagi di Besuki, melainkan di Bondowoso.
Setelah itu pindah ke Jember dan saat ini bergabung dengan Bakorwil di Malang.
Sejarah Kota Besuki bermula dari diangkatnya Raden Bagus (RB) Kasim Wirodipuro sebagai demang pertama di Besuki. Kasim kemudian dikenal dengan nama Ki Pati Alos dan masyarakat Besuki menyebut Ke Pate Alos.
RB Kasim dilantik menjadi Demang Besuki oleh Tumenggung Joyo Lelono yang berkedudukan di wilayah Kabupaten Probolinggo sekarang. Beliau dilantik pada Sabtu manis, 8 September 1764 M, atau 12 Robiul Awal 1184 H. Pada Saat itu lah Nama Besuki di sebut sebut.
Tumenggung Joyo Lelono pernah berpesan, dengan nama Besuki, maka siapa yang berniat jelek terhadap Ke Pate Alos, maka perbuatan itu akan kembali ke dirinya sendiri. Mengenai arti Besuki itu sendiri, saya belum mendapat kejelasan.
Mungkin saja itu dari Bahasa Jerman ”Besuch” karena menurut informasi, tentara Belanda zaman dulu juga banyak yang berasal dari Jerman. Mungkin Besuki itu dulu tempat untuk membesuk, meskipun belum jelas maksudnya membesuk apa,?
Dalam perkembangannya, pemerintahan pimpinan Ke Pate Alos, Besuki bertambah maju. Ke Pate Alos yang memimpin kademangan itu dengan berlokasi di utara alun-alun Besuki atau dikenal sebagai “dalem tengah” mendapatkan penghargaan dari Tumenggung Joyo Lelono.
Ke Pate Alos kemudian dilantik menjadi Patih Besuki pada tahun 1764. Dengan pengangkatan itu, maka status Besuki sebagai wilayah kedemangan naik menjadi setingkat kabupaten.
Pada perkembangan berikutnya, menurut dia, Besuki digadaikan oleh Belanda kepada seorang saudagar Cina muslim di Surabaya bernama, Han Boei Sing, sekitar tahun 1770. Diduga Belanda menggadaikan wilayah Besuki karena membutuhkan uang dalam jumlah banyak.
Namun belum ditemukan fakta berapa nilai uang yang diterima Belanda saat itu. Karena Besuki berada di bawah kekuasaan Han Boei Sing, maka ia mengangkat seorang wali dengan pangkat Ronggo di Besuki dan berlanjut hingga sekitar enam Ronggo. Ronggo itu adalah pangkat.
Menurut dia, pada saat Ronggo di Besuki dijabat oleh Suro Adiwijoyo yang juga Cina muslim, pada sekitar tahun 1805, didirikan bangunan bersejarah di Besuki, seperti gedung keresidenan dan kewedanan serta masjid jamik,” katanya.
Besuki kemudian ditebus oleh Gubernur Jenderal Raffles pada tahun 1813 senilai 618.720 Gulden. Data itu ia dapatkan dari catatan yang ditulis J. Hageman, J. Cz. dengan titel Soerabaia, Februari 1864 .
Sekitar 13 tahun sebelum tebusan itu dilakukan, Ke Pate Alos meninggal. Pemerintah selanjutnya diteruskan oleh anak keturunannya. Ke Pate Alos dimakamkan di Kauman Barat atau Kampung Arab, Besuki.
Makam itu kini dikeramatkan dengan dikunjungi banyak orang untuk ziarah. Pada setiap malam jumat, Moh. Hasan Nailul Ilmi memimpin istighasah di makam tersebut bersama ratusan jamaahnya.
Namun, kemungkinan tidak banyak dari peziarah itu tahu, bahwa Ke Pate Alos itu dulunya pernah menjadi ‘penguasa’ di Besuki, kota tua yang dulu pernah “tergadaikan”
Menurut Beberapa sumber mengatakan tonggak berdirinya Besuki menjadi tonggak hari jadi kota Situbondo pula,namun ada yang mengatakan Hari jadi kota Situbondo adalah 19 September…terlepas dari perbedaan Presepsi tersebut menurut saya harus di kaji lebih Dalam,mangambil titik temu beberapa presepsi adalah penting,tapi yang harus lebih di pentingkan adalah apa yang telah dan akan kita Lakukan Untuk kemajuan Kota ini.
Cikal bakal wilayah ditapal kuda ini bila bisa dipersatukan mengingat sejarah , alangkah kayanya wilayah ini,
Ironis ketika kota keresidenan kini hanya menjadi sebuah kecamatan, sejatinya mampu menjadi pengayom untuk kota-kota lain yang mempunyai latar belakang serumpun diwilayah tapal kuda .
Saya hanya bermimpi andai saja ada propinsi tapal kuda betapa kentalnya kultur masyarakat diwilayah ini.. Allahhukalam hanya Allah yang bisa mewujudkan mimpi itu tentunya dengan segala tekat,keinginan dan kemauan melestarikan kultur budaya di tapal kuda. Coretan ini hanya angan semata yang saya cuplik dari berbagai sumber.
Satu harapan impian itu kan menjadi nyata atas doa dan ijin yang kuasa (red)