Bondowoso – Warisan budaya di Bumi Kironggo yang mulai langka adalah tradisi ‘Nabbhu Ronjhengan’ saat ini mulai langka. Bahkan bisa dibilang nyaris punah dikikis zaman.
Kendati demikian Dinas Pariwisata Budaya Pemuda dan Olahraga (Disparbudpora) Bondowoso berupaya agar tradisi ini tak punah ditelan waktu.
Untuk itu Disparbudpora berupaya menyajikan tradisi ‘Nabbhu Ronjhengan’ dalam acara-acara yang dilaksanakan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bondowoso,salah satunya saat peringatan hari jadi Bondowoso (Harjabo )ke 205 ,Jum’at 16/08/2024.
Kegiatan i ‘Nabbhu Ronjhengan’ dipertontonkan saat tamu undangan akan menggelar tasyakuran di makam pendiri Bondowoso RBA Kironggo.
Bahkan dalam kegiatan tersebut Forpimda juga berkesempatan memainkan alat musik Ronjengan.
Pada zaman dulu khususnya di kawasan Tapal Kuda, yakni Situbondo, Bondowoso, Jember, Lumajang, serta Probolinggo, tradisi memainkan alat penumbuk padi ini sangat akrab di telinga masyarakat.
Seni tradisional ini dikenal dengan istilah ‘Nabbhu Ronjhengan’. Dalam bahasa Indonesia artinya menabuh ronjhengan.
Cara memainkannya juga cukup sederhana. Yaitu alu diketukkan ke lesung panjang oleh beberapa orang. Jadilah irama yang rancak, dan terasa nyaman didengar. Biasanya disertai kidungan-kidungan.
Ronjhengan atau lesung berbentuk panjang merupakan alat untuk menumbuk hasil pertanian. Misalnya padi, jagung, kedelai, atau lainnya. Berfungsi seperti lesung. Tapi bentuknya memanjang, mirip perahu atau sampan.
Sama dengan lesung. Ronjhengan menggunakan alat pendukung lainnya berupa alu, yang dalam bahasa lokal (Madura) disebut gentong. Yakni batang kayu berbentuk panjang seukuran lengan orang dewasa.
Baik ronjhengan, lesung, maupun gentong terbuat dari kayu utuh tanpa sambungan. Ronjhengan biasanya terbuat dari gelondongan kayu berukuran besar, kemudian dilubangi sebapai alas penampang.
Alat ini berfungsi sebagai penumbuk. Jika lesung bisa dilakukan menumbuk oleh 2-3 orang secara bersamaan, ronjhengan bisa dilakukan oleh lebih banyak, yaitu 8-10 orang. Karena bentuknya memanjang.
Menurut seorang penabuh Ronjengan Bndowoso, Susi M. Pd, tradisi nabbhu ronjhengan merupakan warisan budaya peninggalan nenek moyang, khususnya di kawasan Tapal Kuda.
“Sayangnya, nabbhu ronjhengan ini sudah hampir punah. Padahal, pada tradisi ini terkandung filosofi rasa suka cita petani saat panen padi tiba, dan dengan hasil memuaskan,Alhamdulillah bisa tampil sore ini,”paparnya.
Makna filosofi lebih jauh dari tradisi nabbhu ronjhengan ini, kebersamaan para perempuan petani dalam menumbuk padi sambil memainkan ronjhengan dan gentong sebagai hiburan.
Seiring dengan itu Penjabat Bupati Bondowoso, Muhammad Hadi Wawan Guntoro, sangat mengapresiasi bahkan ia sempat turut memainkanya.
“Ini warisan budaya yang harus selalu kita jaga agar tidak punah,”tukasnya