Tarian ini di bawakan sebagai ucapan syukur masyarakan pasca panen dan dibawakan dengan iringan instrumen tradisional khas Jawa dan Bali. Tarian ini di bawakan oleh sepasang penari, yaitu penari perempuan sebagai penari utama atau penari gandrung, dan laki-laki yang biasa langsung di ajak menari, biasa disebut sebagai paju.
Pada perkembangannya tari Gandrung tidak hanya dilakukan berdua namun dilakukan secara masal dalam gelaran acara Gandrung Sewu. Seribu lebih penari Gandrung menari di tepi Pantai Boom, yang sudah menjadi agenda tahunan di bumi Blambangan.
Gandrung sewu artinya event budaya yg digelar setiap tahun pada rangkaian Banyuwangi Festival. Pertunjukkan tari kolosal ini sudah menjadi galat satu even budaya daerah yg paling dinantikan-tunggu oleh para wisatawan.
Pada awalnya Gandrung Sewu digelar untuk mengenalkan kemegahan budaya Banyuwangi ke khalayak luas. Kini Gandrung Sewu sudah berubah menjadi menjadi satu ikon pariwisata favorit Banyuwangi yg sangat dinanti oleh masyarakat luas.

Event Gandrung Sewu, selama ini memperkuat posisi Banyuwangi dalam peta persaingan pariwisata di Indonesia. Pantai menjadi salah satu destinasi wisata alam andalan pada Banyuwangi. Lewat event ini, menjual event budaya sekaligus destinasi alam. Gandrung Sewu terbukti sudah menjadi daya tarik pariwisata Banyuwangi.
Ditilik dari asal-usulnya, Tari Gandrung sudah lama dikenal masyarakat Banyuwangi. Tampak dari pakaiannya, Tari Gandrung banyak dipengaruhi budaya Bali semasa Kerajaan Blambangan.
Kerajaan Blambangan sendiri berdiri pada abad ke-16 yang merupakan kerajaan Hindu terakhir di Pulau Jawa. Kerajaan itu berpusat di ujung Pulau Jawa.
Tari Gandrung adalah khas Banyuwangi yang merupakan perwujudan rasa syukur masyarakat setelah panen. Pada mulanya tarian ini adalah bentuk syukur kepada Dewi Sri atau Dewi Padi. Gandrung juga berarti ‘yang disenangi atau digandrungi’ sehingga tarian ini mengungkapkan suka cita.
Menurut tulisan Scholte tahun 1927, Tari Gandrung mulanya ditarikan oleh pria yang berdandan seperti wanita. Instrumen utama tarian ini adalah gendang atau gamelan khas Osing.
Ketika agama Islam masuk wilayah Blambangan, penari Gandrung laki-laki mulai perlahan hilang. Ini karena dalam ajaran Islam, pria tak boleh berpakaian wanita.